Senin, 13 Mei 2013

fanfiction :: "You are a Song in My Heart" *10


"Kau sedang apa nuna?" tanya Kyuhyun pelan sambil duduk di samping Qian. Gadis itu menoleh sejenak. Lalu kembali menatap ke depan. "Sudah kau pikirkan ucapanku untuk mengganti posisi Zhoumi?" tanya Kyuhyun kemudian. Qian mematung.
"Sudah kubilang kau itu adikku..." ucap Qian pelan. Kyuhyun terkekeh pelan. Ia merangkul bahu Qian.
"Aku mencintaimu nuna, sangat mencintaimu. Bahkan aku tak bisa mengganti posisimu dengan Sooyoung sekalipun Changmin yang meminta. Kau terlalu sempurna untukku. Tapi sayang, takdir memang tak mengizinkan kita bersama." ucap Kyuhyun kemudian. Ia melepas rangkulannya di bahu Qian. Lalu memeluk kedua lututnya.

"Apa kepalamu tertimpa sesuatu? Sejak kapan kau menjadi orang setegar ini?" tanya Qian. Kyuhyun terkekeh.
"Shiksin gila itu, adik kesayanganmu, memberikan satu hal tentang hidup padaku. Dan kurasa hal itu benar. Menyakitkan memang melepasmu, tapi menahanmupun bukanlah hal yang baik. Jika denganku hanya melukaimu, lebih baik aku melihatmu tersenyum dari jauh." jawab Kyuhyun. Qian tertawa.
"Aku tak menyangka jika dua setan kesayanganku ini melankolis. Kapan kau bertemu dengan Changmin?" tanya Qian.
"Tadi pagi sebelum pesawatnya terbang menuju Italia..."
"Italia?" tanya Qian lagi.
"Dia mengajukan beasiswa minggu lalu, dan diterima. Mungkin ia mengejar sahabatnya.
"Sahabat?"
"Sooyoung..."
"Hubungan mereka sebatas sahabat?"
"Untuk saat ini seperti itu, entahlah kedepannya..."
Hening...
Kyuhyun hanya diam memandang Qian. Bidadari cantik itu tak akan pernah jadi miliknya.
Drrrttt...
Getaran ponsel Qian memecah sepi di antara mereka. Gadis itu menerima panggilan masuk.
"Iya bu..." ucapnya pada orang di seberang sambungan.
"...."
"Oh baiklah..."
"...."
"Ya bu, aku kesana. Sampai jumpa..."
Tut... Tut... Tut...
"Siapa?" tanya Kyuhyun setelah Qian memutuskan sambungan teleponnya.
"Ibu memintaku ke salon langganannya. Beliau menunggu disana." jawabnya. Kyuhyun tersenyum.
"Pergilah..." titah pemuda itu
"Kyu, soal pernyataanmu--"
"Lupakanlah, aku mencintaimu. Tapi aku lebih suka melihat cintaku bahagia." potong Kyuhyun. Qian menyunggingkan senyumnya.
"Aku pergi dulu..." pamit gadis itu.
"Hati-hati..." ucap Kyuhyun. Ia menatap Qian yang kian menjauh. Melepas gadis itu adalah pilihannya, ia tahu itu sulit. Tapi akan lebih sulit lagi jika mempertahankannya. Ia yakin, cintanya yang baru akan datang menghampirinya. Secepat mungkin...
Senyumnya merekah sambil menatap langit biru cerah dengan arakan awan putih yang bergelung.
"Kyuhyun-ssi..." Panggilan seseorang membuatnya menoleh. Dan ia terpaku saat melihat senyum itu.
Senyum itu?
Ia rasa tak asing. Ia mengenalnya. Tapi siapa? Diperhatikannya setiap lekuk wajah gadis di hadapannya. Dan kedua sudut bibirnya tertarik mencipta seulas senyum manis saat mendapati secuil info dari memorinya tentang gadis ini. Gadis yang ia kira tak akan muncul lagi dalam lembaran kisah hidupnya.
Ia berdiri di hadapan gadis itu. Mengulurkan tangan kanannya.
"Ahn Eulmae, apa kabar?"

***

Qian melangkah ragu di belakang ibunya. Mereka berjalan memasuki sebuah restoran mewah.
"Ibu, aku malu..." ucapnya membuat langkah ibunya terhenti.
"Kau cantik sayang, di dalam ada ayahmu dan kakakmu." ucap Liu Xian. Wanita paruh baya itu menggamit lengan Qian dan berjalan bersama.
Qian takjub dengan desain interior restoran ini. Dimana warna merah dan kuning emas mendominasi, ditambah aksen China yang mampu mengobati para imigran negeri tirai bambu itu mebgobati kangennya pada suasana kampung halaman.
"Annyeong..." sapaan ibunya membuat Qian tersentak. Ia turut memberi salam kepada beberapa orang yang tengah asik mengobrol. Seorang wanita seusia sang ibu, dua orang pria paruh baya, dan seorang pemuda yang usianya ia taksir sebaya dengannya. Ia tersenyum manis sambil menatap pemuda berwajah dingin itu. Apa ini kakak lelakinya yang dibanggakan sang ibu? Kenapa ekspresinya datar seperti itu? Apa ia tak menyukai kehadiran Qian di antara mereka? Jika benar seperti itu, mungkin Qian tak akan kerasan tinggal bersama sang ibu, lebih baik ia tinggal bersama bibi Cho dan Kyuhyun.
"Silakan duduk, ah putri ayah cantik sekali..." ucap seorang pria paruh baya di hadapannya.
"Terimakasih tuan..." ucapnya sambil duduk di samping pria itu. Diapit oleh ibunya dan pemudda dingin itu tepat di hadapannya.
"Ah, sepertinya malaikat ayah belum terbiasa. Coba panggil ayah..." ucapnya.
"Ayah..." ulang Qian membuat pria itu tersenyum.
"Kau harus terbiasa memanggilku seperti itu nak." Qian menganggukkan kepala. Dan sekali lagi ia menatap pemuda itu. Tak ada kesan hangat dalam tatapannya. Semuanya datar dan dingin.
"Kau kuliah dimana?" tanya sang ayah. Qian menoleh.
"Dulu aku sempat kuliah jurusan hukum sebelum. Tapi saat mengetahui Kyuhyun juga harus kuliah, aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja sebagai pelayan di salah satu cafe. Makanan disana enak, aku rasa ayah harus mencobanya sesekali." jawabnya.
"Tentu saja, ayah akan menyempatkan diri kesana."
"Ah iya, ibu hampir lupa dengan tujuan kita. Qian, ini keluarga Wu. Mereka rekan bisnis ayahmu. Dan pemuda di hadapanmu adalah Wu Yi Fan, putra tunggal mereka. Dan kami sepakat untuk menjodohkanmu dengan Yi Fan..." ucap sang ibu. Qian mematung. Jadi pemuda ini bukan kakaknya? Melainkan calon suami...
"Kau cantik dan baik. Kurasa Kris menyukaimu. Kau termasuk tipikal wanita idamannya, Qian. Kuharap kau mau menerima Kris..." ucap Nyonya Wu. Qian makin tersudut. Ia tak mungkin menerima perjodohan ini karena ia yakin ini sangat diinginkan oleh ibunya.
"Terimakasih bibi. Kau terlalu memujiku. Kris itu Yi Fan?" tanya Qian.
"Iya, kami lama tinggal di Kanada sehingga kami terbiasa memanggilnya Kris. Kendati nama sebenarnya adalah Wu Yi Fan..." ucap Tuan Wu.
"Ah iya..."
Qian tersenyum ke arah pemuda itu dan sialnya tak dihiraukan.
"Maaf bu, aku telat. Aku baru mengurus beberapa dokumen." ucap seseorang yang baru datang dan duduk di samping sang ibu. Qian menoleh.
"Qian, ini kakakmu, Zhoumi. Maaf atas keterlambatannya." ucap sang ibu. Qian membulatkan matanya.
"Hai adik manis, aku Zhoumi, kakakmu. Senang bertemu denganmu." ucap Zhoumi sambil tersenyum ke arah Qian.
Gadis itu hanya mematung. Kenapa semuanya secara kebetulan? Atau memang hanya ia yang tak mengetahui kenyataan?
Dan ia tak mampu mendengar apapun lagi, dunianya kembali hitam gelap tanpa setitik kecil pelita untuk menerangi. Ia hanya mampu mengulas senyum palsu kendati ia pun tahu, Zhoumi menyadari sikapnya.

***

Zhoumi berdiri di balkon mansion ayahnya. Menatap langit malam yang ditaburi bintang. Ia menoleh ke samping, tempat Qian berdiri. Gadis itu menatap kosong. Mungkin kejadian yang hari ini menimpanya terlalu cepat, membuat ia terkejut karena mentalnya tak kuat.
"Qian..." panggilnya menyadarkan gadis itu dari lamunan.
"Ah iya," sahut gadis itu pelan. Suara lirihnya, Zhoumi tahu Qian sangat tersakiti. Melebihi dirinya.
"Selamat..." ucap Zhoumi. Qian menatap ke arah pemuda itu. Matanya merah, seolah memberi tahu jika luapan luka itu membuncah di hatinya.
"Untuk apa?"
"Pernikahanmu dengan Wu Yi Fan. Dia orang yang baik, aku yakin kau akan bahagia bersamanya..."
Tes...
Air mata Qian menitik pelan. Bahunya mulai berguncang tanda ia tengah terisak. Ingin sekali Zhoumi menepuk bahu gadis itu, lalu mendekap gadis itu didalam hangat peluknya, membiarkan segala yang ada di hatinya dikeluarkan melalui air mata. Setidaknya beban Qian bisa berkurang. Tapi keinginan itu ia tahan. Tak boleh. Ia tak boleh memeluk Qian atau benteng pertahannya akan bobol dan ia tak bisa melepas Qian.
"Kenapa harus seperti ini Mi? Kenapa?" tanya gadis itu. Ia luruh, berlutut di hadapan Zhoumi. Kakinya tak mampu menahan bobot tubuhnya. Semuanya berat.
"Ini takdir, Qian. Jujur, aku tak ingin seperti ini. Tapi apa kau percaya, ini yang terbaik untuk kita."
"Yang terbaik dalam membunuh kita secara perlahan, Mi. Kau mencintaiku, aku mencintaimu. Tapi kenapa semuanya sulit Mi? Kenapa takdir seolah tak ingin kita bersama? Apa salahku di masa lalu Mi? Apa?" Qian makin terisak. Ia menangis. Menjabarkan semuanya pada Zhoumi mungkin bisa membuat bebannya berkurang.
"Aku memang mencintaimu, Qian. Tapi aku harus sanggup melepasmu. Aku akan selalu mencintaimu. Dengarkanlah baik-baik, mungkin ini terakhir kalinya aku mengucapkan ini. Aku mencintai Song Qian melebihi apapun yang ada di bumi. Kau adalah lantunan lagu terindah dalam hidupku. Tetaplah tersenyum untukku." ucap Zhoumi.
Ia masih berdiri tegak di hadapan Qian. Menahan niatnya untuk menunduk dan merengkuh gadis itu untuk menangis bersama. Isakan Qian terhenti. Ia bangkit dan berdiri di hadapan Zhoumi.
"Jadi apa aku harus memanggilmu oppa atau gege?" tanya Qian mantap meski matanya berkaca-kaca tanda tangisnya belum sepenuhnya reda.
"......" Zhoumi terpaku.
"Baiklah, kau kakak lelakiku, aku hanya berharap kau mendapatkan yang terbaik dalam takdirmu. Terimakasih untuk semuanya yang pernah terjalin terjadi di antara kita. Aku akan selalu mencintaimu..." ucap Qian. Ia menatap mata Zhoumi. Menyimpan semua siratan yang tertulis jelas disana, tentang cinta mereka yang harus dibunuh begitu saja. Menyimpannya untuk meyakinkan dirinya jika suatu saat nanti ia tak lagi dicintai, ia yakin bahwa Zhoumi akan selalu mencintainya. Menjadi sandaran yang tak bisa disandarinya.
"Kalau begitu, selamat malam. Semoga tidurmu nyenyak..." ucap Qian sebelum berlalu meninggalkan Zhoumi.
Pemuda itu mematung, menatap bahu Qian yang kembali bergetar.

*tbc*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar